Kehidupan sering kali menawarkankan ‘bohong’ sebagai sebuah alternatif untuk sekadar lolos dari tekanan atau ketidaknyamanan. Terkesan menyelesaikan memang, namun nyatanya tidak demikian. Bahkan ada konsekuensi lain seperti efek domino yang harus dipikul. Suka atau tidak suka, sengaja atau tidak tetap akan ada masalah beruntun yang menyertai kebohongan, apapun itu.
Masih teringat kisah si penggembala dan serigala? Cerita yang tak asing di telinga kita. Berawal dari rasa iseng dan mencari sensasi humor, seorang anak mulai membuat lelucon tentang kebohongan serigala. Tentu warga percaya dengan hal itu. Satu, dua dan tiga kali seruan akan kehadiran serigala itu berulang. Tak pelak, anak itu perlahan kehilangan kepercayaan dari warga. Tak ada lagi yang mempercayai perkataannya. Singkat kata anak tersebut bernasib malang diterkam serigala.
Banyak motif dan yang melatarbelakangi mengapa kita berbohong. Melidungi diri dari kesalahan dan kekurangan. Perasaan tidak nyaman akan kejujuran. Mendapatkan keuntungan sepihak. Melindungi kepentingan pribadi atau bahkan memang iseng karena kecanduan berbohong sebagaimana cerita di atas. Tapi, tahukah kita seberapa besar konsekuensi bohong dalam agama Islam?
Tak mengherankan jika dalam realita kehidupan saat ini, kita dapati berbagai macam kekacauan yang seringkali dipicu oleh kebohongan. Ketidaknyamanan sosial, korupsi, hoax, adu domba, fitnah-fitnah yang menyemai kebencian, permusuhan, bahkan sampai pemutusan tali silaturrahmi. Itulah dampak sosial yang tidak bisa dianggap sebagai hal kecil halnya karena setitik kebohongan.
Dalam Islam, bohong merupakan salah satu dari tiga tanda orang munafik, sebagaimana yang hadits yang masyhur,
آيَةٌ المُنَافِقِ ثلَاَثٌ : إِذَا حَدَثَ كَذِبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ؤتُمِنَ خَانَ
“Pertanda orang yang munafiq ada tiga: apabila berbicara bohong, apabila berjanji mengingkari janjinya dan apabila dipercaya berbuat khianat.” (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim.).
Dalam hadits yang lain juga disinggung sebagaimana berikut:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْد رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا ، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُوْرِ ، وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا
Dari ‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga. Dan apabila seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke Neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta (pembohong)’.” Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/384); Imam al-Bukhâri (no. 6094) dan dalam kitab al Adabul Mufrad (no. 386); Imam Muslim (no. 2607 (105)); Imam Abu Dawud (no. 4989).
Dalam Al Quran pun terdapat peringatan keras bagi para pembohong.
… إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ كَذَّابٌ
“Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta.” (Q.S. 40 : 28).
Lantas, jika Allah Swt. adalah Tuhan semesta alam saja enggan untuk memberi petunjuk, maka adakah hal yang bisa menyelamatkan kita pedihnya siksa neraka tanpa hidayah-Nya? Untuk itulah, mari sebagai muslim, kita mulai kejujuran sebagai wujud penolakan terhadap kebohongan. Upaya membawa kebaikan untuk kita dan lingkungan sekitar kita.