Trend I'tikaf di Sepuluh Terakhir Bulan Ramadhan

Trend I’tikaf di Sepuluh Terakhir Bulan Ramadhan

Posted on

Alhmadulillah, kita masih diberikan kesempatan untuk melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan ini hingga akhir bulan. Namun ada sesuatu yang berbeda ketika mendekati akhir bulan Ramadhan ini, bukan ramaianya pasar atau mall melainkan aktifitas ibadah i’tikaf yang dilakukan di sepuluh terakhir bulan Ramadhan.

I’tikaf di sepuluh terakhir bulan Ramadhan menjadi budaya dan rutinitas dengan tujuan mengharapkan segala hajat serta akan mendapatkannya malam laillatul qadar, agar semua itu dikabulkan oleh Allah SWT.

Namun ada yang perlu diperhatikan dalam beri’tikaf, karena melaksanakan i’tikaf di sepuluh akhir puasa itu dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW, dan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Pertama, tujuan dalam i’tikaf itu sendiri berupa niat. Kedua, mengetahui syarat-syarat dalam melakasanakan i’tikaf. Ketiga, mengetahui apa saja yang diperbolehkan dan dilarang saat i’tikaf. Keempat, mengerjakan sesuatu yang telah dianjurkan saat i’tikaf.

Sejatinya, hal-hal yang semacam inilah yang perlu dipelajari dan diketahui ketika hendak melaksanakan ibadah i’tikaf, bukan hanya datang ke masjid kemudian duduk lalu ngantuk dan tidur hehehe.

Pengertian Apa itu I’tikaf

Sebelum itu ada baiknya kita mengenal dan mengetahui apa itu i’tikaf, I’tikaf berasal dari bahasa Arab akafa yang berarti menetap, mengurung diri atau terhalangi. Secara syariat adalah berdiam diri di dalam masjid dalam rangka untuk mencari keridhaan Allah SWT dan bermuhasabah (introspeksi) atas perbuatan-perbuatannya. 

Yang artinya, ibadah i’tikaf merupakan ibadah berdiam diri di dalam masjid, dan hanya bisa dilakukan di dalam masjid (masjid yang dilaksankan shalat Jum’at) saja, tidak bisa dilakukan ditempat lainnya apalagi dirumah.

Niat I’tikaf

Bacaan niat i’tikaf sebagai berikut :

نَوَيْتُ الْإِعْتِكَافَ سُنَّةً لِلَّهِ تَعَالَى

(Nawaitul i’tikaafa sunnatal lillaahi ta’aalaa)

Artinya: Aku berniat itikaf, sunnah karena Allah Ta’ala

Syarat dalam Melaksanakan I’tikaf

Karena i’tikaf termasuk dari ketegori ibadah fi’liyah maka perlu syarat yang harus dipenuhi, yaitu dalam keadaan bersuci, berada di dalam masjid (masjid yang dilaksankan shalat Jum’at) saja.

Itu menjadi syarat utama, sebab karena di dalam i’tikaf sendiri ada beberapa ibadah yang dianjurkan.

Lalu apa saja yang dianjurkan dan diperbolehkan saat beri’tikaf, berikut ini adalah sedikit penjelasan dari kitab-kitab kuning menerangkan akan kesunahan dan anjuran saat beri’tikaf:

Dijelaskan oeh Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab berikut:

 قال الشافعي والأصحاب فالأولى للمعتكف الاشتغال بالطاعات من صلاة وتسبيح وذكر وقراءة واشتغال بعلم تعلما وتعليما ومطالعة وكتابة ونحو ذلك ولا كراهة في شئ من ذلك ولا يقال هو خلاف الأولى هذا مذهبنا وبه قال جماعة منهم عطاء والأوزاعي وسعيد بن عبد العزيز

“Imam Syafi’i dan ashab (para pengikutnya) berkata, ‘Hal yang utama bagi orang yang beri’tikaf adalah menyibukkan diri dengan ketaatan dengan melaksanakan shalat, bertasbih, berdzikir, membaca Al-Qur’an, dan menyibukkan diri dengan ilmu dengan cara belajar, mengajar, membaca, dan menulis serta hal-hal sesamanya. Tidak dihukumi makruh dalam melaksanakan satu pun dari hal-hal di atas, dan tidak bisa disebut sebagai menyalahi hal yang utama (khilaf al-aula). Ketentuan ini merupakan pijakan mazhab kita (mazhab Syafi’i), dan pendapat ini diikuti oleh golongan ulama, seperti Imam ‘Atha, al-Auza’i, Sa’id bin Abdul Aziz” (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab, juz 6, hal. 528).

Dalam referensi lain, yakni kitab al-Fiqh al-Manhaji ‘ala al-Mazhab al-Imam as-Syafi’i juga menjelaskan tentang kesunnahan saat melaksanakan i’tikaf:

يستحب للمعتكف الاشتغال بطاعة الله تعالى، كذكر الله تعالى، وقراءة القرآن، ومذاكرة العلم، لأنه أدعى لحصول المقصود من الاعتكاف. الصيام، فإن الاعتكاف مع الصيام أفضل. وأقوى على كسر شهوة النفس وجمع الخاطر وصفاء النفس. أن يكون الاعتكاف في المسجد الجامع، وهو الذي تقام فيه الجمعة. أن لا يتكلم إلا لخير، فلا يشتم، ولا ينطق بغيبة، ونميمة، أو لغو من الكلام

“Disunnahkan bagi orang yang melaksanakan i’tikaf untuk melakukan beberapa hal. Pertama, menyibukkan diri dengan melaksanakan ketaatan pada Allah, seperti berdzikir, membaca Al-Qur’an dan diskusi keilmuan. Sebab melaksanakan hal-hal ini akan menuntun terhadap maksud dari pelaksanaan i’tikaf.

Kedua, berpuasa. Sesungguhnya i’tikaf dalam keadaan berpuasa itu lebih utama dan, kuat dalam memecah syahwat hawa nafsu, dapat memfokuskan pikiran dan menyucikan hati. 

Ketiga, melaksanakan i’tikaf di masjid jami’, yakni masjid yang didirikan shalat Jumat.

Keempat, tidak berbicara kecuali perkataan yang baik. Ia tidak diperkenankan untuk mengumpat, menggunjing, adu domba, dan perkataan yang tidak ada gunanya” (Dr. Mushtofa Said al-Khin dan Dr.  Mushtofa al-Bugha, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala al-Mazhab al-Imam as-Syafi’i, juz 2, hal. 108)

Berdasarkan dari refrensi diatas dapat diketahui bahwa kesunahan dalam melaksanakan i’tikaf disaat berpuasa ialah dilaksankan di waktu siang hari, karena i’tikaf di siang hari lebih afdhal atau utama dari pada di malam hari.

Namun perlu diingat, bahwa i’tikaf di sepuluh malam terkahir di bulan Ramadhan sangat danjurkan, karena pada malam-malam tersebut terdapat khususan berupa turunnya lailatul qadar, oleh karenanya i’tikaf di sepuluh malam terakhir memiliki keutaman sendiri.

Dalam salah satu hadits dijelaskan:

كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Rasulullah melaksanakan i’tikaf pada sepuluh (malam) terakhir dari bulan Ramadhan sampai beliau wafat, lalu (dilanjutkan) istri-istrinya yang i’tikaf sepeninggalnya” (HR. Bukhari)

Adapun hukum I’tikaf ialah sunnah muakkad, dan bisa menjadi wajib apabila diniatkan dalam nazar.

Dan yang dilarang ketika beri’tikaf ialah selain dari apa yang dianjurkan, semisal berbica kotor, mengumpat, ghibah dan perbuatan dosa lainnya.

Dan perlu diketahui juga ada 5 hal yang membatalkan itikaf, yaitu:

  1. Murtad.
  2. Sengaja keluar masjid walaupun sebentar, tanpa adanya udzur syar’i.
  3. Hilang akal karena gila atau mabuk.
  4. Datangnya haid atau nifas.
  5. Jima’ meskipun karena lupa atau dipaksa.
  6. Keluar mani baik karena mimpi atau disengaja.
  7. Melakukan dosa besar.

Dan diutamakan ketika beri’tikaf agar memperhatikan segala bentuk kesunahan dan anjuran pada saat i’tikaf, dan mengamalkan amaliyah qouliyah berupa dzikir, membaca al Qur’an dan lain sebagainya dengan khusyu dan penuh khidmat.

Nah demikianlah sedikit penjelasan mengenai i’tikaf, semoga ibadah puasa kita, i’tikaf kita dan semua ibadah kita diterima oleh Allah SWT. Dan khususnya semoga bisa mendapatkan malam lailatul qadar, malam yang lebih baik dari pada seribu bulan. Amiiin amiin…

Source : wikipedia.org / nu.or.id / bersamadakwah.net

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *