Tak ada undangan yang paling layak dihadiri selain undangan Rasul Saw. di taman surga. Namun, apa jadinya jika undangan tersebut malah diwarnai dengan suguhan ‘santap bangkai’ bersama? Agaknya perlu renungkan kembali mengingat taman surga adalah manifestasi dari surga itu sendiri.
Terlepas adanya perbedaan penafsiran akan makna taman surga, tidaklah menjadi sebuah persolan. Masalah utamanya adalah bangkai-bangkai yang dibawa dan hidangkan dalam halaqah dzikir, forum pengkajian al Quran ataupun majlis ilmu. Entah apa yang membuat pemandangan seperti ini semakin akrab menjamur. Sadar atau tidak, menyeret persoalan pribadi dalam forum umum bukanlah hal yang bijak untuk dilakukan.
Tak jarang kita mendengar entermezo: “semoga Allah memafkannya yang telah berbuat buruk kepada saya.” atau perkataan senada lainnya yang nampak sebagai sebuah kebaikan. Namun, faktanya tidak demikian. Selingan seperti di atas nyatanya berpotensi menjadi dua keburukan sekaligus.
Yang pertama menjadi ‘ghibah massal’ ketika tanpa dijelaskan pun telah memberi kefahaman kepada para hadirin. Pemaparan aib seorang muslim merupakan wujud lain dari penghukuman sepihak yang akan menjurus kepada pembunuhan karakter. Padahal, kita adalah manusia yang sama-sama berpeluang membuat sebuah kesalahan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.
Dari hadits juga menyinggung hal serupa:
عَنْ قَيْسٍ قَالَ : مَرَّ عَمْرُو بْنُ العَاصِ عَلَى ببَغْلٍ مَيِّتٍ, فَقَالَ : وَاللهِ لأََنْ يَأْكُلَ أَحَدُكُمْ مِنْ لَحْمِ هَذَا (حَتَّى يمْلأَ بَطْنَهُ) خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ (الْمُسْلِمِ)
“Dari Qais, dia berkata: ‘Amru bin Al-‘Ash Radhiyallahu ‘anh melewati bangkai seekor bighol (hewan hasil persilangan kuda dengan keledai), lalu beliau berkata: “Demi Allah, salah seorang dari kalian memakan daging bangkai ini (hingga memenuhi perutnya) lebih baik baginya daripada ia memakan daging saudaranya (yang muslim)”.[1]
Yang kedua, bentuk pensucian diri dan penarikan simpati dan kebaikan. Meskipun perkataan tersebut diniatkan sebagai doa, maka tetap kebaikan tersebut akan lebih baik jika diucapkan secara sirr[2]tanpa harus dipublikasikan.
Dari surat al Hujarat ayat 12 di atas, kita diingatkan untuk kembali berkaca dan berbenah: sudah sucikah diri kita dari aib? Sudah bebaskah kita dari segala maksiat? Jika pertanyaan semacam ini menancam dalam kesadaran, maka kita pun akan selamat dari kebodohan berlapis. Kebodohan akan aib kita dan kebodohan karena merasa ‘lebih suci’ dari saudara kita.
Inilah Potret penting pembelajaran umat saat ini untuk senantiasa menjaga aib saudara kita. Harapannya jelas. Semoga dengan kepedulian tersebut, Allah menutup aib dan kejelekan kita di hari penyaksian kelak.
Sumber: Bidayatul Hidayah karya Imam al Ghozali
[1]Riwayat Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no 736
[2]Sembunyi-sembunyi, pelan