Sebagai seorang hamba, pengkabulan doa adalah sebuah karunia besar. Namun, nyatanya untuk mendapatkan karunia tersebut tidaklah mudah. Pernah suatu saat Sy. Sa’ad bin Abi Waqash memohon kepada Rasulullah Saw. Agar Allah menjadikannya sebagai orang yang mustajab doanya. Nabi Saw. tidak serta merta langsung mendoakan sahabatnya tersebut, namun memintanya untuk memperbaiki makanannya.
يَا سَعْدُ, أَطِبْ مَطْعَمَكَ تَكُنْ مُسْتَجَابَ الدَّعْوَة
“Wahai Sa’ad perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya.”
Kemudian, Nabi Saw. melanjutkan,
وَالَّذِيْ نَفْسِ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَقْذِفُ اللُّقْمَةَ الْحَرَامَ فِيْ جَوْفِهِ مَا يَتَقَبَّلُ مِنْهُ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً ، وَأَيُّمَا عَبْدٍ نَبَتَ لَحْمُهُ مِنَ السُّحْتِ وَالرِّبَا فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Dan demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sungguh jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amalnya selama 40 hari dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba, maka neraka lebih layak baginya.”[1]
Imam Abdullah bin Alwi al Haddad menukil perkataan Sy. Imam Abdullah bin Husain bin Thahir: Wara’ [2] adalah perkara yang sangat penting. Tidak hanya sebatas tuntutan dalam mu’amalah dan memakan yang syubhat saja. Namun juga pada tuntutan anggota tubuh. Maka sudah seharusnya bagi manusia untuk tidak melihat, mendengar dan mengerjakan apa yang telah dijelaskan keharaman atau kemakruhannya.
Imam Muhammad al Baqir Ra. berkata: “Tidak ada ibadah yang lebih utama daripada menjaga perut dan kemaluan.”
Imam Quthbi al Irsyad al Habib Abdullah al Haddad mengatakan bahwa pembahasan mengenai pengutamaan kebaikan makanan ketimbang amal shaleh merupakan bagian dari tuntutan dikabulkannya doa.
Hal ini bisa dilihat dari keadaan para musafir zaman dulu. Doa mereka merupakan doa mustajab. Berapa banyak dari para musafir yang berambut kusut masai namun ketika bersumpah atas nama Allah, sumpah mereka lagsung terpenuhi. Namun, tak banyak juga orang-orang musafir ketika itu yang sama-sama berambut masai, dipenuhi debuh ketika bersumpah, tak kunjung dipenuhi Allah Swt. Mengapa?
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : (إِنَّ اللهَ تَعَالَى طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبَاً وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ المُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ المُرْسَلِيْنَ فَقَالَ : ( يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحاً ) (المؤمنون: الآية51) ، وَقَالَ: ( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ) (البقرة: الآية172) ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاء،ِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ ،وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وملبسه حرام وَغُذِيَ بِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لذلك) رواه مسلم
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata: Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik, tidak menerima kecuali yang baik-baik. Sesungguhnya Allah memerintahkan kaum beriman dengan apa-apa yang diperintahkan kepada para nabi.” Lalu Beliau membaca: “Wahai para rasul makanlah yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih.” (QS. Al Mu’minun (23): 51). Dan membaca: “Wahai orang-orang beriman makanlah yang baik-baik dari apa-apa yang Kami rezekikan kepada kalian.” (QS. Al Baqarah (2): 172). Lalu Beliau menyebutkan ada seorang laki-laki dalam sebuah perjalanan yang jauh, kusut dan berdebu, dia menengadahkan kedua tangannya ke langit: “Wahai Rabb, wahai Rabb,” sedangkan makanannya haram, minumannnya haram, pakaiannya haram dan dia dikenyangkan dengan yang haram, bagaimana bisa doanya dikabulkan?” (HR. Muslim no. 1015)
Dari hadits di atas, kita mengambil sebuah pelajaran bahwa meskipun doa para musafir merupakan doa mustajab, namun dengan makanan haram, hal itu tidak akan memberi kemanfaatan apapun atas dikabulkannya doa. Jika doa saja tidak diterima, bagaimana dengan shalatnya (seluruh amalnya).[3]
Dalam kitab az Zubad karangan Ibn Ruslan[4] juga dijelaskan mengenai perumpamaan orang taat yang memakan makanan haram.
وَطَاعَةٌ مِمَّنْ حَرَامًا يَأْكُلُ # مِثْلُ الْبِنَاءِ فَوْقَ مَوْجٍ يُجْعَلُ
Ketaatan seorang yang memakan haram # Keadaannya seperti bangunan yang dibangun di atas gelombang.
Pada dasarnya, urgensi halal tidak hanya pada makanan, pakaian dan harta saja, namun juga semua hal yang menyangkut sarana ibadah yang melekat pada raga kita. Hanya saja, makanan dan minuman haram memiliki bahaya yang lebih besar. Karena makanan dan minuman tersebut akan terurai dalam tubuh, menyatu menjadi daging yang mempengaruhi kualitas amal kita.
[1] Diriwayatkan oleh Imam at Thabarani dalam kitab al Ausath (311:6) dari hadits Sy. Ibn ‘Abbas Ra.
[2] Sifat kehati-hatian untuk meninggalkan hal yang meragukan.
[3] Kutipan Tatsbiitul Fuadi dalam kitab al Manhaj as Sawii karangan al Habib Zain bin Smith hal 526
[4] Imam al Faqih az Zahid al Arif Billah Syihabuddin Ahmad bin Husain bin Arsalan ar Ramli as Syafi’I (735-844 H)